Sunday, February 24, 2013

Petualangan ke Desa Matobe


Jumat (9 November 2012) kami berkunjung ke desa Matobe untuk bertemu dengan kepala desa.  Karena berangkat dari Sikakap udah sore, jadi kami langsung menuju ke rumah Pak Kades itu.  Bagai pawai di jalanan kami pergi dengan tiga motor, ditemani oleh Ka Af (atau lebih populer dengan nama Elok) karena Ka Af yang tahu jalan menuju kesana.  Jam 2 siang kami mulai mencari pinjaman motor, tapi apa daya, motor yang ada disini tidak bisa dipinjam melainkan harus “disewa”.  Harga sewa per motor umumnya 100 ribu rupiah per hari.  Karena kami menggunakannya hanya untuk setengah hari, maka harusnya jadi setengahnya, tapi jadinya 60 ribu belum termasuk biaya bensin sebagai bahan bakarnya.  Hmm.  Mahal yah.  Kalo naik ojek juga bakalan sama mahalnya sih, bisa sekitar 25 ribu an per ojek sekali jalan katanya untuk ke Matobe dan kami membutuhkan 5 ojek.  Akan lebih mahal jadinya..

Sore itu Sikakap lumayan cerah dan hujan sudah reda sehingga kami memutuskan untuk kesana.  Tapi karena habis hujan, bekas-bekas hujannya (genangan air dan jalan bertanah yang licin) agak mengganggu perjalanan kami.  Kalo Ka Af sih udah jago cing, itu wilayahnya dia dan dia udah biasa bawa motor ke Matobe.  Tapi Ka Inang dan Ka Ido yang mengendarai motor nampak kesulitan dan jalannya lamaaaaaa banget.  Aku sih dibonceng sama Ka Af, makanya berasa cepet jalannya.  Hahaha.

Menuju Desa Matobe
Jalan menuju Matobe sungguh membuat istighfar.  Badanku sampe pegal karena sejam lebih motor ini berhadapan dengan jalan tanah berbatu yang lubang disana-sini, serta genangan air disana-sini juga.  Jam 4 sore selepas solat ashar kami berangkat dari Sikakap dan baru sampai jam 5.20 di Dusun Sarere, Desa Matobe, tempat tinggal sang Kades.  Kata Ka Af sih kalo udah biasa dengan medan itu 40 menit juga bisa sampe, tapi karena kami menunggu 2 motor lain yang senantiasa tertinggal di belakang :p jadinya baru sampe hampir jam setengah 6 :D
Jalanan belum disemen dan amat liciiin kalo habis hujan
Genangan Air Dimana-mana
Jembatan di Matobe
Jalanan menuju Dusun Polaga yang Super Hutan
Ini bukan Genangan Air, tapi Banjir :O
Matobe nampak tidak se-modern Sikakap.  Rumah-rumahnya lebih asli, yaitu rumah berbentuk persegi atau persegi panjang yang dibangun dari kayu-kayu atau setengah semen-setengah kayu.  Semua rumah seperti itu.  Jarak antar rumah juga agak jauh.  Ada rumah yang tiba-tiba ada disitu sendirian.  Wow.  Bisa gitu ya ada sebiji rumah yang tak bertetangga, jadi bagaimana mereka hidup selama ini.  Tetanggaannya sama pohon-pohon dan rumput.

Dusun Makukuet, Gerbang Desa Matobe
Papan Informasi siaga Bencana yang Terdapat di Setiap Dusun
Tidak terlalu banyak anjing sih di Matobe.  Tapi aku kaget karena di perjalanan aku melihat beberapa babi (mirip babi hutan sih, tapi ini di kampung berarti babi kampung) yang item-item gitu.  Beneran babi.  Bukan babi yang ada di pikiranku selama ini, bahwa babi itu warnanya pink.  Ternyata babi-babi itu sengaja dipelihara oleh penduduk di Matobe.  Semoga babi-babi itu ga “nyeruduk” karena serem juga kalo diseruduk babi, item lagi babinya.  Di Matobe tak ada listrik karena PLN belum masuk ke Desa Matobe.  Hanya ada genset sebagai energi listrik, itupun hanya warga dengan ekonomi menengah ke atas saja yang punya.  Kalo ga ada genset ya gelap.  Dan kami akan gelap-gelapan berarti saat assesmen dan kegiatan nanti.  Di Matobe juga tak ada sinyal.  Saat akan meninggalkan Sikakap (Dusun Mabolak) menuju Desa Matobe (Dusun Makukuet) sinyal sudah enggan timbul.  Jadilah nanti kami di Matobe tak tersentuh dunia luar.

Itu ada babinyaaa >.<
Bapak Kades Matobe namanya Pak Justianus.  Kami berenam disambut dengan baik oleh beliau dan beliau dengan sabar menjawab berbagai pertanyaan kami seputar desa.  Karena kantor desa sudah tutup, jadi kami tak bisa mendapatkan data tertulis yang lengkap.  Semua informasi langsung dari Pak Kades.  Sekitar 30 menit kami di rumah Pak Kades.  Hari sudah mulai gelap sehingga kami memutuskan untuk pulang ke Sikakap lagi.  Masih di dusun Sarere, saat perjalanan pulang, kami bertemu dengan sekelompok anak usia SD yang sedang mencari durian.  Matobe adalah tempat durian tumbuh dengan subur dan ini sudah mendekati waktu panen.  Bulan Desember adalah puncak panennya.  Jadilah perjalanan pulang kami ‘terganggu’ oleh duren-duren itu dan kami berhenti sejenak untuk membelinya.  30 ribu kami dapat sekarung penuh.  Itu pun ada beberapa duren yang langsung kami nikmati disana, karena ga muat kalo dimasukin ke karung juga.  Super excited!  Karena aku terakhir makan duren itu kan bulan September, sebelum masuk training.  Kata Ka Af, kalo lagi panen harganya bisa turun drastis, 5 ribu bisa dapat 3 buah duren :O

Makan Dureeenn XD
Hmmm ;)
Perjalanan pulang ke Sikakap terasa lebih mengerikan.  Jalanan masih tetap berbatu, bertanah, dan basah serta hutan-hutan yang kami lewati sudah mulai gelap.  Tak ada penerangan barang satu buah lampu pun, selain dari lampu-lampu rumah yang kami lewati dan lampu motor itu sendiri.  Kalo pas berangkat merasa seru dengan perjalanan ini, pas balik rasanya “kok ga sampe-sampe yah” lamaaa banget nyampenya XD  Ga tau deh.  Perasaan jalan yang kami lewati sama dengan yang tadi karena memang hanya ada satu jalan Sikakap-Matobe.  Jalanan itu sungguh tak berujung.  Sampai di depan kantor camat Sikakap hampir jam 7 malam.  Dengan menggotong karung duren itu kami naik ke atas menuju rumah, yang ternyata di rumah pun orang-orang baru saja selesai makan duren.  Haha :D

The Awesome Trip! 'Sikakap-Tuapejat'


Perjalanan kami selama 3 hari sungguh luar biasa.  Perubahan rencana yang tiba-tiba membuat kami berlima terombang-ambing di lautan selama total 31 JAM!! Luar biasa peningnya, luar biasa mualnya, dan luar biasa lelahnya XD

Minggu (11 November 2012) pagi jam 8 kami berangkat ke Tuapejat, ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.  Tuapejat ini terletak di Pulau Sipora, sebelah utara Pulau Pagai.  Entah berapa kilometer jaraknya, pokoknya jauh.  Kami ‘menumpang’ di KM Beriloga dengan tiket seharga 5 ribu rupiah.  Murah kan? Murah banget 5 ribu untuk perjalanan laut 9 jam.  Tapi jika kami tak menambah pengeluaran untuk perjalanan dengan KM Beriloga, maka kami akan stres karena harus duduk di—yaa bisa disebut emperan.  Semua orang bercampur baur.  Bukan hanya orang, tapi benda-benda mati seperti perabotan rumah tangga serta duren dan sayur-sayuran yang akan dibawa ke ibukota.  Sungguh penuh sesak.  Untungnya sehari sebelumnya kami sudah menyewa 1 kamar untuk 4 bed yang bisa kami gunakan untuk istirahat dengan harga 50 ribu per bed.  Namun karena kamar umum penuh.  Maka kami disarankan untuk menyewa kamar ABK yang hanya berisi 2 bed per kamar, dan kami belum tau berapa harga per-bed nya saat mengiyakan.  Ternyata harganya 100 ribu per bed. Wuah… 500 ribu melayang sudah demi keamanan dan kenyamanan perjalanan ke Tuapejat :D

KM Beriloga
Perjalanan awal kami bersama KM Beriloga seruuuu sekali.  Kami bisa sarapan di dek kapal bagian depan dimana kami bisa melihat lautan lepas di sebelah kanan dan hamparan pulau pagai utara di sebelah kiri.  Anginnya juga asoy.  Karena masih terhalang oleh pulau, jadi ombaknya tidak terlalu besar.  Sambil muter lagu yang disambungkan dengan spiker kami duduk-duduk di kapal, ngobrol-ngobrol ga jelas.  Sejam kemudian ombak sudah mulai besar.  Si Beriloga bergerak naik turun mengikuti gelombang sehingga kami juga ikut terhuyung-huyung.  Tapi kalo berdiri seru loh.  Kayak surfing gitu.  Berasa keren.  Trus Ka Inang kehilangan keseimbangan pas mau masuk ke kamar.  Dan tiba-tiba dia muntah di plastik.  Hahaha. Ya ampun.  Dia ratu rimba dan hanya bisa “hidup” di hutan ternyata.  Akhirnya aku juga ikutan masuk ke kamar karena udah mulai pusing melihat kapal yang naik-turun.

Menyusuri Pulau Pagai Utara menuju Pulau Sipora
Sarapan di Dek KM Beriloga
Masih excited  Poto-poto :D
Tidur di kasur rasanya kayak digoyang-goyang ke kanan dan kiri. Aaaa. Sungguh pening rasanya.  Pusing delapan keliling.  Makin lama gelombang yang dilewatin makin besar dan Beriloga makin berusaha keras untuk survive di lautan demi keselamatan awak dan para penumpangnya.. Allahuakbar.  Di dalem kamar berasa gempa bumi.  Aku hanya bisa memejamkan mata agar tidak melihat pemandangan ‘gempa bumi’ itu.  Entah berapa lama kami digoyang-goyang seperti itu.. Jam 5 sore kami sampai di Pelabuhan Tuapejat.  Tuapejat itu artinya persinggahan.  Memang biasa disinggahi oleh berbagai jenis kapal.

Malamnya kami menginap di Hotel Turonia, di Jalan Raya Tuapejat km 5,5.  Kami berempat tidur sekamar dan Ka Ido tidur bareng sama orang Puskesmas, yaitu Bang Eki dan Bang Gem.  Sebenarnya kami ke Tuapejat ini adalah dalam rangka mengikuti Puskesmas Sikakap untuk monitoring-evaluasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Kep Mentawai sekalian buat merujuk 3 pasien dari Puskesmas Sikakap ke RSUD Tuapejat.  Ternyata monev itu dilaksanakan minggu depan -.-“ Minggu ini adalah laporan per Puskesmas untuk program Malaria saja.  Dan yang lebih parah adalah Dokter Warta mengundang kami untuk datang Senin depannya di acara Lokakarya (ketemuan segala sektor) dan Launching Puskesmas Terapung.  Haduh.  Jadinya kami galau.  Kami ga mungkin tinggal di Tuapejat sampe senin depan untuk menghadiri acara Lokakarya itu, karena kami ga ada duit buat hidup di Tuapejat :D 
Pertemuan Program Malaria di Dinkes Kabupaten Kepulauan Mentawai
Kata orang Dinkes, memang biaya hidup di Tuapejat itu mahhal karena dianggap gaji orang-orang pemerintahan itu besar. Tuapejat sepi ciiinn.  Jalannya kelebaran masa :O  cuma karena pusat pemerintahan itu di Tuapejat, jadi isinya “pejabat” semua dan banyak orang yang dianggap penting disana.  Tapi lebih rame di Sikakap, barang-barang juga lebih murah di Sikakap.
Jalanan Tuapejat yang Lebar nan Sepi...

RSUD Kepulauan Mentawai di Tuapejat, Pulau Sipora
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Sikakap saja daripada hidup lama di Tuapejat tanpa alasan yang jelas dan cuma bisa ngabisin duit XD  Kapal balik langsung ke Sikakap itu adanya hari Sabtu.  Nunggu hari sabtu kelamaan, jadi kami kembali ke Sikakap via Padang.  Mekanismenya adalah Senin sore kami naik kapal dari Tuapejat ke Padang, kemudian Selasa sore lanjut naik kapal dari Padang ke Sikakap.  Ini tidak mudah.  Kami sudah membayangkan bagaimana lelahnya jika kami berlima nekat melakukan itu.  Setelah dihitung-hitung biaya yang akan dikeluarkan, kami membeli tiket ekonomi (karena yang bisnis habis) di Pelabuhan Tuapejat.

Ambu-ambu Tuapejat-Padang tiketnya berharga 75 ribu rupiah per orang untuk kelas ekonomi, berangkat jam 8 malam.  Kami belum pernah masuk ke kelas ekonomi, tapi kami coba saja agar bisa segera sampai di tanah Sikakap.  Ambu-ambu ini memang lebih bagus daripada KM Tanjung Burang yang dulu kami naiki pertama kali.  Fasilitasnya lebih bagus dan terawat, serta kamar mandinya banyak dan bersih.  Mungkin karena Ambu-ambu baru saja naik dock (perbaikan kapal) jadi semua fasilitasnya masih baru.  Namun di kelas ekonomi, orang bebas merokok dimana saja mereka mau.  Errr.  -_-“

Ka Inang muntah loh pas kapal baru aja jalan.  Sudah dua kali dia muntah di atas kapal.  Trus kami menyewa satu matras seharga 35 ribu rupiah untuk tidur bergantian.  Kalo dipikir-pikir sama aja dong harga tiket bisnis sama harga tiket ekonomi plus matras.  Secara harga tiket bisnis ‘cuma’ 105 ribu rupiah per orang, dengan fasilitas yang lebih bagus dan nyaman..  Maka kami berpikir perjalanan kami ke Sikakap besoknya harus pake yang bisnis.  Malamnya, saat kapal naik-turun, aku merasa amat mual dan langsung bergegas menuju kamar mandi, dan aku muntah.  Hmm.. puyeng rasanya.  Dan nasi yang tadi kumakan udah keluar semua.  Aku emang nggak minum antimo sih, karena pas di Beriloga aku ga mabuk.  Ternyata laut memang memabukkan ._.

Ambu-ambu Kelas Ekonomi
Ka Ido Tidur XD
Selasa, 13 November 2012 jam 6 pagi kami sampai di Pelabuhan Bungus, Padang.  Berarti perjalanan Tuapejat-Padang menghabiskan waktu 10 jam.  Cape bangettt.  Belum lagi kami harus naik taksi ke Kota Padang, mencari masjid untuk mandi.  Sampailah kami di sebuah masjid yang letaknya dekat dengan Plaza Andalas.  Sengaja.  Biar langsung bisa belanja di PA.  Sebelum ke PA, kami makan lontong sayur dan pecel dulu di depan masjid.  Dan layaknya orang yang sudah beberapa hari tinggal di daerah berharga makanan mahal, maka sarapan di Padang yang murah itu sungguh sesuatu :O

Masjid Al Muqamah di Padang :)
Waktunya belanja di PA.  Ka Inang dan Ka Resti berpisah untuk belanja di Pasar Alai dan mencari seorang bernama Indra yang tak lain dan tak bukan adalah anak dari pasien rujukan yang kuliahnya di STIKIP PGRI Padang.  Belanja di R*mayana (setelah sekian lama ga ketemu supermarket) rasanya te-o-pe be-ge- te.  Kalap.  Super kalap.  Semuaaaaa pengen dibeli.  Apalagi Ka Ido, apa aja minta dibeli.. Dan akhirnya lebih dari setengah juta kami habisin buat belanja di R*mayana XD Trus siangnya makan di Sol*ria dan beli dinner K*C buat di Ambu-ambu.

Setelah itu kami bergegas menuju Pelabuhan Bungus lagi dengan naik taksi, bersama dengan banyak plastik belanjaan dan satu kardus BESAR belanjaan.  Kardusnya itu kardus bekas Sw*ety popok bayi itu loh.  Jadi kayak habis beli popok bayi buat dibagiin ke bayi sekampung gitu.  Karena trauma mendalam yang kami alami pada malam sebelumnya di Ambu-ambu, maka kami buru-buru menuju Bungus agar bisa mendapatkan tiket bisnis.  Namun apa daya.  Tak tau sebenarnya harus datang di depan loket jam berapa agar bisa dapet yang bisnis.  Karena lagi-lagi kami dapet yang ekonomi di Ambu-ambu Padang-Sikakap.  Zzzzt.  Yasudahlah, harusnya kami sudah tak kaget lagi kalo naik ekonomi karena udah pernah.  Bismillah aja.  Semoga ga mabuk laut (lagi).  Yang aku pikirkan adalah ingin sampai di Sikakap secepat mungkin..

Rabu, 14 November 2012 jam 6.30 kami sampai di Pelabuhan Sikakap setelah 12 jam terombang-ambing di atas lautan. Dengan ini, lengkap sudah 31 jam yang kami jalani di laut.  31 jam selama 3 hari itu sungguh tak bisa digambarkan dengan kalimat, kata-kata, bahkan huruf.  Hujan yang menyambut kami di Pelabuhan Sikakap membuat baju kami basah sampai rumah.  Sampai rumah langsung sarapan (yang harusnya dimakan buat dinner semalam) dan tiduuurrr… Tidur dari jam 8-11 itu sungguh subhanallah rasanya.  Bisa rebahin badan sampe lurus, yang 2 malam terakhir tak bisa kami lakukan..


Beneran deh.  Mikir-mikir lagi kalo mau ngelakuin perjalanan laut selama itu.  Karena capenya nggak nahan.. hahaha.  Tapi lumayan lah.. Pengalaman.  Kalo bukan karena Pencerah Nusantara, mana pernah aku ngalamin hal yang begini B-)


Sunday, February 10, 2013

"Rumah Pertama" di Sikakap


8 November 2012

Sekarang kami sudah tinggal di kontrakan baru.  Rumah kami adalah lantai 2 dari rumah Pak Kamarudin, pengurus Masjid Raya Al Furqon.  Tak bisa dibilang luas rumah ini, tapi cukup nyaman dan terfasilitasi. Yang benar-benar mikir adalah bagaimana caranya kami bisa makan tiga kali sehari dengan dana yang kami miliki. Belum lagi kalo lapar sehingga butuh cemilan XD

Lantai 2 rumah Pak Kamar
Di rumah kontrakan kami ada 3 bocah yang hampir setiap saat mereka ‘mengganggu’ aktivitas kami di rumah.  Ketiga bocah ini adalah anak dari orang yang punya rumah (Ka Des).  Mereka adalah Teddi (12 tahun), Mikhel (10 tahun), dan Marsel (4 tahun).  Ada anak tetangga juga yang kadang-kadang main ke basecamp kami di lantai 2, yaitu Andre dan David yang seumuran sama Marsel.  Banyak anak kecil dan mereka semua cowo.  Hahaha. Kebayang kan bagaimana basecamp kami yang tak begitu luas ini dipenuhi dengan 5 anak kecil dan 5 orang cekikikan seperti kami.

Di lantai 2 biasanya kami nonton tivi bareng karena memang tivi keluarga ini adanya di lantai 2.  Bukan hanya sekedar tipi, tapi ini semacam seperangkat home theater yang kalo dinyalakan gelegarnya bisa mengalahkan suara adzan dari masjid.  Setiap malam tiga bocah itu memutar sesuatu, baik itu film lion king yang sudah dua kali diputer, karaoke lagu minang-nya Lintar Icil, atau kisah superhero macam Batman dan Power rangers.  Yah..  kalo ada mereka jangan harap bisa menonton tipi saat malam hari, walaupun hanya sekedar menonton berita di TVone, apalagi nonton infotainment :D

Selain nonton dan karaoke (lagu malin kundang) bareng, Teddi dan Mikhel sering meminta tolong untuk mengajari mereka belajar, seringnya sih matematika.  Hohoho.  Tadi pagi saat hari hujan dan mereka berdua akan pergi ke sekolah, kesian kalo keujanan walaupun sekolah mereka dekat sih, hanya turun ke bawah di depan masjid raya.  Jadi aku menawarkan untuk mengantar mereka menggunakan payung pink ku yang unyu itu sampai di depan sekolah mereka.  Lumayan.. Bisa jalan-jalan di tengah gerimis pagi hari.. Di tengah jalan mereka berdua banyak sekali menanyakan sesuatu, misalnya : “Te, kalo jatuh di jalanan semen sama jalanan aspal lebih sakit yang mana?” Apa aku harus menjatuhkan diri dulu di kedua jenis jalan itu agar bisa menjawabnya.  Ada-ada saja -_-a

Yang unyu dari mereka Teddi dan Mikhel adalah mereka (tiba-tiba) menggambar rumah idaman mereka, dimana di dalamnya ada nama-nama kami juga.  Aku sempat speechless melihatnya.  Meskipun gambarnya khas anak SD banget, tapi makna yang terkandung sungguh dalam.  Mereka berdua “menganggap” kami sebagai bagian dari keluarga mereka padahal baru sebentar kami tinggal disini.  Hmm.. mungkin karena di sekitar sini lebih banyak ibu-ibu dan jarang sekali anak muda, makanya mereka bertiga jarang maen-maen sama orang besar.  Dan akhirnya mereka menemukan kami sebagai orang-orang besar yang bisa diajak bermain-main. 

Ini view dari balkon rumah 'kami' :

Dari balkon udah keliatan pulau sebrang loh! (Pagai Selatan)

Rumah 'kami' juga sangat dekat dengan Masjid Raya Alfurqon Sikakap

Pohon mangga yang "begitu dekat" hingga buahnya bisa ditangkap kapan saja~

Ekstrimnya cuaca di Mentawai sungguh menguji kesabaran. Kalo lagi panas, subhanallah allahuakbar luar biasa panasnya.  Berkeringat terusss, terik matahari, jarang angin, bikin emosi pokoknya :s Tapi bisa saja setelah itu langsung turun hujan deras.  Benar-benar kondisi cuaca yang sangat ekstrim.  Hal itu membuat kami galau jika ingin menjemur cucian.

Setiap Rabu adalah Hari Pasar.  Hari dimana kapal dari Padang datang ke Sikakap dan membawa banyak benda-benda dari Padang.  Kami akan memanfaatkan hari pasar untuk membeli kebutuhan, terutama makanan, selama seminggu agar bisa menghemat pengeluaran kami.  Di hari pasar, harga-harga bahan makanan relatif lebih murah daripada hari-hari lain, apalagi jika membeli di warung.  Wooo.  Luar biasa mahalnya disini ciin.  Ya begitulah.  Karena semua sayur-sayuran itu harus naik kapal dulu untuk menuju kesini..

Pasar dadakan yang cuma ada Hari Rabu

Sikakap's Sunrise :)

2 November 2012

Selepas subuh kami sengaja keluar ke dermaga belakang Wisma Lestari untuk melihat matahari terbit.  Subhanallah.. :)








Gambar oleh Resti Zulhaijah (@restizulhaijah , http://restizulhaijah.blogspot.com)

Welcome to Sikakap


Teluk Bungus, Padang
Selasa (30 Oktober 2012) kami melakukan penyebrangan Padang – Sikakap dari Pelabuhan Bungus, Teluk Bayur, Padang.  Perjalanan direncanakan akan menghabiskan waktu 12 jam di lautan, menyeberangi Selat Mentawai.  Harga tiket Bisnis Dewasa adalah 128 ribu rupiah, sudah termasuk asuransi.  Kalau ekonomi dewasa berapa yaa, hmm, sekitar 90an ribu rupiah gitu.  Kami sampai di Pelabuhan Bungus sekitar pukul 15.30 sore.  Ditemani oleh Pak Nasmul dan Pak Mulfit dari Dinkes Provinsi Sumbar karena ini pengalaman pertama bagi kami “melaut” ke Mentawai.

di Dek KMP Tanjung Burang
KMP Tanjung Burang berangkat pada pukul 17.30 menuju Pelabuhan Sikakap, Pulau Pagai Utara, Mentawai.  Di kabin VIP, tidak terlalu terasa pergerakan kapalnya.  Tetapi di bagian dek kapal, rasanya begitu nyata.  Naik-turun akibat menerjang ombak dan gelombang Selat Mentawai sangat terasa.  Belum lagi ditambah hujan gerimis yang turun saat itu. Hehe.  Tapi lama-lama aku kedinginan sih kena angin laut, makanya turun lagi ke kabin VIP.  Ada tivinya juga disitu, tapi kadang nyala kadang engga karena pengaruh dari sinyal.  Sinyal hape juga hilang saat di lautan.  Akhirnya setelah solat dan makan (yang sudah kami beli sebelum naik kapal), sekitar jam 7 malam mulai tidur.  Mencoba posisi yang pas agar badan ini tak terlalu terlipat-lipat sehingga kami bisa tidur nyenyak.  Semalaman aku beberapa kali terbangun karena naik-turun rasanya kapal ini, sehingga badanku juga ikut naik-turun. 

"berjuang" untuk tidur di Kabin VIP XD
Alhamdulillah.. Rabu, 31 Oktober 2012 pukul 6.30 kami tiba di Pelabuhan Sikakap, Mentawai.  Itu berarti membutuhkan 13 jam di lautan.

Daratan Sikakap sudah terlihat :)
Kami dijemput oleh Mobil Ambulance :D karena barang-barang kami yang sangat banyak itu.  Saat mengangkat-angkat koper dan barang itu, aku memperhatikan suasana sekeliling.  Pelabuhan Sikakap di pagi hari pasca datangnya kapal.  Banyak orang berlalu-lalang menjemput keluarganya.  Banyak juga yang mungkin sengaja ke Padang untuk “kulakan” (apa ini bahasa indonesianya ya -_-a) barang dan akan dijual lagi di Sikakap.  Itu yang membuat harga bahan makanan dan barang-barang di Sikakap menjadi lebih mahal.  Setelah itu kami berlima dibawa ke Wisma Lestari, tempat menginap kami sementara selama beberapa hari karena kami belum mendapat rumah kontrakan yang bisa ditempati.  Rumah Dinas Puskesmas pun sudah habis terhuni.  Kami disambut oleh Ka Erika, Kepala TU Puskesmas Sikakap yang juga tinggal bersebelahan dengan Wisma Lestari.  Setelah nego harga dengan saudara dari Bu Rika, kami akan tinggal sekitar 2 minggu di penginapan ini.

Wisma Lestari sangat dekat dengan Pasar Sikakap.  Jarak antara Pelabuhan Sikakap dan Pasar Sikakap relatif dekat.  Bisa ditempuh dengan berjalan kaki.  Yang membuatku bahagia tinggal di Sikakap ini adalah ada 1 masjid dan 2 mushalla sepanjang jalanan Sikakap ini.  Masjid Raya Al Furqon itu yang terbesar.  Hmm.. rasanya sangat bahagia.  Tentu saja awalnya aku berpikir akan sedikit tempat ibadah muslim disini dan tak terdengar adzan saat waktu solat tiba seperti yang terjadi kalo sedang liburan di Pulau Bali.  Namun yang kutemukan disini berbeda.  Bahkan sebelum adzan pun tak jarang yang dibunyikan dari masjid adalah murottal Alqur’an J sungguh amat-amat senang.  Alhamdulillah.  Allah Maha Besar.  Toleransi umat beragama disini juga nampaknya baik.  Dan beberapa warung makan juga dimiliki oleh ibu-ibu yang beragama islam sehingga aku merasa aman jika membeli makanan disitu.

Disini juga aku berkenalan dengan Ka Maria dan beberapa rekannya di UN Joint yang bertempat di Sekretariat Bersama Sikakap, Mentawai.  Itu adalah salah satu NGO dari United Nations yang bekerja untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa dan tsunami Mentawai tahun 2010 lalu.  Awal yang baik untuk menjalin kemitraan dengan NGO yang ada disini.  Apalagi kami diperbolehkan untuk main-main ke sekretariat itu untuk wifi-an. Hahaha.  Alhamdulillah XD

Satu lagi yang unik.  Bahwa bukan cuma angkot di Padang yang senantiasa ajeb-ajeb, tapi di Sikakap Tengah juga selalu berbunyi musik-musik khas Padang dan Medan.  Kalau musik-musik itu sudah berhenti, maka dilanjutkan oleh para remaja-remaji yang bernyanyi sambil bermain gitar :D tapi sekitar jam 9 keatas, suasana disini sudah mulai sepi.  Toko-toko di pasar juga sudah tutup.

Malam pertama di Sikakap, jujur saja, aku agak was-was.  Aku sengaja sudah memakai kaos lengan panjang dan celana training panjang dan menyiapkan jilbab di sebelahku.  Kalau-kalau ada apa-apa di malam itu.  Dua kali aku terbangun dan melihat jam di hape belum menunjukkan pukul 4 pagi.  Hmm.. kapanpun dimanapun, selama di Sikakap ini,  harus waspada akan bencana yang mungkin terjadi.  Sebenernya bukan cuma di Sikakap sih, mau dimanapun tempatnya di atas bumi ini juga bisa terjadi bencana.  Mungkin harus lebih berhati-hati disini karena Mentawai ini rawan gempa dan tsunami.

Walaupun nelpon dari sini agak putus-putus karena sinyal yang tidak begitu bagus, aku puas sudah mendengar suara orang tuaku via telepon.  Bahkan aku ini sedang tidak berada di Pulau Sumatera, tapi di Kepulauan Mentawai.  Sungguh dari kecil aku tidak pernah bermimpi akan menghabiskan waktu disini, di tempat yang jauh dari Pulau Jawa :D 


Friday, February 8, 2013

Tim Mentawai Road to Padang


28 Oktober 2012 adalah hari keberangkatan Pencerah Nusantara ke titik penempatan masing-masing.  Padang jadi kota transit sebelum kami menuju Mentawai.  Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pulau Sumatera loh.  Sesaat setelah kami sampai di Minangkabau International Airport pukul 14.30 siang, terlintas bayangan 27 Pencerah Nusantara lainnya yang ditempatkan di 6 titik lain di Indonesia.  Hmm.. perjuangan memang sudah dimulai, kawan.. tapi petualangan yang sesungguhnya baru saja akan dimulai, di titik penempatan masing-masing..



Minangkabau International Airport

Rasanya campur aduk, antara senang, penasaran, sedih, dan tentu saja bingung.  Itu yang aku rasakan setelah sampai di Padang, ditambah dengan mendung yang menyelimuti kota Padang sore itu.  Kami dijemput oleh Pak Udin, staf dari Dinkes Provinsi Sumbar.  Karena banyaknya koper dan barang kami, maka butuh satu taksi lagi.  Orang-orang di sekitar kami sampai heran, “Ini orang mau pindah kemana?”, begitu mungkin pikir mereka :D 

Memasuki Kota Padang, aku langsung takjub dengan kota ini.  Bagaimana tidak.  Bangunan rumah gadang yang jika di Jakarta dan seantero Pulau Jawa berarti Rumah Makan Padang, disini hampir semuaaaa bangunan menggunakan model rumah gadang.  Perkantoran, bank, kampus, sekolah, rumah makan (tentu saja), bahkan sampai pos penyeberangan rel kereta api juga berbentuk rumah gadang.  Dari jauh sudah terlihat bentuk khas dari atap rumah gadang yang itu.  Hahaha.  Berkali-kali aku bilang ke Ka Ido, “Ka, disini bener-bener banyak rumah makan Padang!” saking aku excited-nya dengan tata kota Padang yang sangat menjunjung tinggi budayanya.

Kami tinggal di Balai Pelatihan Kesehatan Provinsi Sumbar selama 3 hari 2 malam.  Bapelkes ini berada sangat dekat dengan Bukit Pangilun sehingga bukit hijau itu bisa dinikmati keindahannya langsung dari asrama kami, Asrama Puti Linduang Bulan kamar 107 – 109 :) 
  
Senin (29 Oktober 2012) kami bertemu dengan jajaran pegawai di Dinkes Provinsi Sumbar.  Disitu kami diberikan orientasi mengenai berbagai masalah yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang sangat bermanfaat bagi kami.  Sayang sekali, Kadinkes sedang ada di luar kota, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat kami karena Alhamdulillah kami diterima dengan baik oleh Dinkes Sumbar.  Dan juga diberi Soto Padang :D
  
Setelah itu kami menuju ke Basko, sebuah mall yang ada di Padang.  Naik angkot dua kali dari Gunung Pangilun dengan alasan utama belum makan siang dan ingin makan P*zza Hut. Hahaha.  Jauh-jauh ke Padang makannya disitu juga -.-“ agak kalap gitu jadi pesennya kebanyakan.  Tapi puas lah.  Alhamdulillah.  Trus kami (cewe-cewe) belanja ke Foodm*rt untuk kebutuhan sehari-hari di Mentawai nanti.  Yang mencengangkan adalah beli mie instan sekardus :O ya ampun.  Seumur-umur belum pernah aku beli mie instan sekardus begitu.  Saat itu Ka Ido sedang potong rambut di Y*pie Salon dan alangkah terkejutnya dia melihat kami memasukkan sekardus mie instan ke dalam troli belanjaan XD



PH Basko Mall

Selasa (30 Oktober 2012) rencananya kami akan bertemu dengan Ibu Kadinkes, tetapi nampaknya beliau sedang banyak kegiatan dan belum bisa bertemu dengan kami.  Jadilah kami jalan-jalan kota Padang pada hari itu.  Kami menuju daerah Pondok untuk membeli modem dan dvd eksternal kemudian bersama dengan Bundo (ibunya Ka Ido) dan Fadil menuju ke daerah pesisir Kota Padang untuk makan siang.  Kali itu makan siang di rumah makan Fuja.  Woow.  Alhamdulillah.. Suasananya WOW, makanannya WOW, dan gratis pula dibayarin oleh Bundo ;)

Padang enak sih suasananya.  Ini kayak suasana pertengahan antara kota dan desa gitu.  Jadi bukan semacam Jakarta atau Surabaya gitu.  Dan yang unik lagi dari Padang adalah angkotnya yang “ajeb-ajeb”.  Hampir tak ada satu pun angkot yang tidak ‘bernyanyi’.  Kalo kebagian duduk di pojok (deket speaker) tiba-tiba kepala langsung pening gitu.  Mungkin karena belum biasa naik angkot di Sumatera kali ya.  Katanya di daerah Sumatera yang lain angkotnya juga sejenis dengan angkot-angkot di Padang.
  
3 hari di Kota Padang alhamdulillah menyenangkan… tapi bagaimanapun juga Padang masih berupa “kota” yang mungkin akan berbeda suasana dan kondisi dengan Sikakap.  Tapi.. pusing juga loh kalo ga bisa bahasa Minang.  Karena disinilah tempatnya semua orang ngomong pake bahasa Minang :D