Jumat (9 November 2012) kami berkunjung
ke desa Matobe untuk bertemu dengan kepala desa. Karena berangkat dari Sikakap udah sore, jadi
kami langsung menuju ke rumah Pak Kades itu.
Bagai pawai di jalanan kami pergi dengan tiga motor, ditemani oleh Ka Af
(atau lebih populer dengan nama Elok) karena Ka Af yang tahu jalan menuju
kesana. Jam 2 siang kami mulai mencari
pinjaman motor, tapi apa daya, motor yang ada disini tidak bisa dipinjam
melainkan harus “disewa”. Harga sewa per
motor umumnya 100 ribu rupiah per hari.
Karena kami menggunakannya hanya untuk setengah hari, maka harusnya jadi
setengahnya, tapi jadinya 60 ribu belum termasuk biaya bensin sebagai bahan
bakarnya. Hmm. Mahal yah.
Kalo naik ojek juga bakalan sama mahalnya sih, bisa sekitar 25 ribu an
per ojek sekali jalan katanya untuk ke Matobe dan kami membutuhkan 5 ojek. Akan lebih mahal jadinya..
Sore itu Sikakap lumayan cerah dan hujan
sudah reda sehingga kami memutuskan untuk kesana. Tapi karena habis hujan, bekas-bekas hujannya
(genangan air dan jalan bertanah yang licin) agak mengganggu perjalanan
kami. Kalo Ka Af sih udah jago cing, itu
wilayahnya dia dan dia udah biasa bawa motor ke Matobe. Tapi Ka Inang dan Ka Ido yang mengendarai
motor nampak kesulitan dan jalannya lamaaaaaa banget. Aku sih dibonceng sama Ka Af, makanya berasa
cepet jalannya. Hahaha.
|
Menuju Desa Matobe |
Jalan menuju Matobe sungguh membuat
istighfar. Badanku sampe pegal karena
sejam lebih motor ini berhadapan dengan jalan tanah berbatu yang lubang
disana-sini, serta genangan air disana-sini juga. Jam 4 sore selepas solat ashar kami berangkat
dari Sikakap dan baru sampai jam 5.20 di Dusun Sarere, Desa Matobe, tempat
tinggal sang Kades. Kata Ka Af sih kalo
udah biasa dengan medan itu 40 menit juga bisa sampe, tapi karena kami menunggu
2 motor lain yang senantiasa tertinggal di belakang :p jadinya baru sampe
hampir jam setengah 6 :D
|
Jalanan belum disemen dan amat liciiin kalo habis hujan |
|
Genangan Air Dimana-mana |
|
Jembatan di Matobe |
|
Jalanan menuju Dusun Polaga yang Super Hutan |
|
Ini bukan Genangan Air, tapi Banjir :O |
Matobe nampak tidak se-modern
Sikakap. Rumah-rumahnya lebih asli,
yaitu rumah berbentuk persegi atau persegi panjang yang dibangun dari kayu-kayu
atau setengah semen-setengah kayu. Semua
rumah seperti itu. Jarak antar rumah
juga agak jauh. Ada rumah yang tiba-tiba
ada disitu sendirian. Wow. Bisa gitu ya ada sebiji rumah yang tak
bertetangga, jadi bagaimana mereka hidup selama ini. Tetanggaannya sama pohon-pohon dan rumput.
|
Dusun Makukuet, Gerbang Desa Matobe |
|
Papan Informasi siaga Bencana yang Terdapat di Setiap Dusun |
Tidak terlalu banyak anjing sih di
Matobe. Tapi aku kaget karena di
perjalanan aku melihat beberapa babi (mirip babi hutan sih, tapi ini di kampung
berarti babi kampung) yang item-item gitu.
Beneran babi. Bukan babi yang ada
di pikiranku selama ini, bahwa babi itu warnanya pink. Ternyata babi-babi itu sengaja dipelihara
oleh penduduk di Matobe. Semoga
babi-babi itu ga “nyeruduk” karena serem juga kalo diseruduk babi, item lagi
babinya. Di Matobe tak ada listrik karena
PLN belum masuk ke Desa Matobe. Hanya
ada genset sebagai energi listrik, itupun hanya warga dengan ekonomi menengah
ke atas saja yang punya. Kalo ga ada
genset ya gelap. Dan kami akan
gelap-gelapan berarti saat assesmen dan kegiatan nanti. Di Matobe juga tak ada sinyal. Saat akan meninggalkan Sikakap (Dusun
Mabolak) menuju Desa Matobe (Dusun Makukuet) sinyal sudah enggan timbul. Jadilah nanti kami di Matobe tak tersentuh
dunia luar.
|
Itu ada babinyaaa >.< |
Bapak Kades Matobe namanya Pak
Justianus. Kami berenam disambut dengan baik
oleh beliau dan beliau dengan sabar menjawab berbagai pertanyaan kami seputar
desa. Karena kantor desa sudah tutup,
jadi kami tak bisa mendapatkan data tertulis yang lengkap. Semua informasi langsung dari Pak Kades. Sekitar 30 menit kami di rumah Pak
Kades. Hari sudah mulai gelap sehingga
kami memutuskan untuk pulang ke Sikakap lagi.
Masih di dusun Sarere, saat perjalanan pulang, kami bertemu dengan
sekelompok anak usia SD yang sedang mencari durian. Matobe adalah tempat durian
tumbuh dengan subur dan ini sudah mendekati waktu panen. Bulan Desember adalah puncak panennya. Jadilah perjalanan pulang kami ‘terganggu’
oleh duren-duren itu dan kami berhenti sejenak untuk membelinya. 30 ribu kami dapat sekarung penuh. Itu pun ada beberapa duren yang langsung kami
nikmati disana, karena ga muat kalo dimasukin ke karung juga. Super excited! Karena aku terakhir makan duren itu kan bulan
September, sebelum masuk training. Kata Ka
Af, kalo lagi panen harganya bisa turun drastis, 5 ribu bisa dapat 3 buah duren
:O
|
Makan Dureeenn XD |
|
Hmmm ;) |
Perjalanan pulang ke Sikakap terasa lebih
mengerikan. Jalanan masih tetap berbatu,
bertanah, dan basah serta hutan-hutan yang kami lewati sudah mulai gelap. Tak ada penerangan barang satu buah lampu
pun, selain dari lampu-lampu rumah yang kami lewati dan lampu motor itu
sendiri. Kalo pas berangkat merasa seru
dengan perjalanan ini, pas balik rasanya “kok ga sampe-sampe yah” lamaaa banget
nyampenya XD Ga tau deh. Perasaan jalan yang kami lewati sama dengan
yang tadi karena memang hanya ada satu jalan Sikakap-Matobe. Jalanan itu sungguh tak berujung. Sampai di depan kantor camat Sikakap hampir
jam 7 malam. Dengan menggotong karung
duren itu kami naik ke atas menuju rumah, yang ternyata di rumah pun
orang-orang baru saja selesai makan duren.
Haha :D
No comments:
Post a Comment